SEBAGAI sebuah negara maupun suku bangsa, Republik Rakyat China dan bangsa Tionghoa, yang tersebar ke seluruh seantero dunia memiliki keunikan, menjadi paradoks karena keberhasilan maupun kegagalannya (yang mungkin dihadapinya), Dalam persepsi yang terkecil terdapat rahasia pandangan yang jernih; dalam menjaga yang terlemah juga mencakup rahasia dari seluruh kekuatan,” kata Laozi, guru utama ajaran Daoisme, yang hidup pada abad ke-6 sebelum Masehi. Laozi yang mengarang kitab Daodejing, ajaran tentang keseimbangan semesta alam ini, tecermin juga perilaku dan sikap RRC dan orang Tionghoa umumnya, baik tentang kesusastraan, kebudayaan, maupun spiritual. Keseimbangan dalam konsep yin dan yang, di dalam hitam ada putih di dalam putih ada hitam, menjadi sebuah pandangan hidup, mulai dari kebesaran era kedinastian China kuno yang tidak luluh di bawah kekejaman Revolusi Kebudayaan ciptaan Mao Zedong yang ingin merontokkan pengaruh lama feodalisme untuk membangun masyarakat China baru. Sosialisme dengan karakteristik China memang masih mencari bentuk yang sepadan menjaga keseimbangan berdasarkan tradisi yang berdiri sebagai fondasi selama ribuan tahun. Sebagai sebuah kekuatan baru, secara ekonomi, perdagangan, maupun politik, China berhasil menjadikan banyak negara tetangganya di selatan, termasuk Indonesia, tidak lagi melihat China sebagai sebuah ancaman. Para penguasa di berbagai negara ini pun condong harus mengakui bentuk vasal baru globalisme yang diemban RRC, dalam bentuk kerja sama ekonomi, sosial, budaya, militer, maupun politik. Sengketa wilayah kedaulatan yang mencakup Laut China Selatan di utara sampai ke Kepulauan Natuna di selatan, ”masuk ke bawah karpet” sebagai persoalan yang tidak memiliki urgensi untuk diselesaikan. China pun menikmati sebuah lingkungan strategis yang damai, sebuah prasyarat penting keberhasilan pembangunan modernisasi dan reformasi ekonominya. Orang Tionghoa di berbagai negara di kawasan Asia Tenggara, mulai meneruskan kehidupannya menjalankan berbagai tradisi yang sebelumnya sulit dinikmati, seperti perayaan Tahun Baru Imlek yang sekarang menjadi bagian budaya penting reformasi Indonesia. Melanjutkan pesta Di tengah decak kekaguman terhadap RRC yang berhasil menggeser posisi Jerman sebagai kekuatan ekonomi ketiga terbesar di dunia di belakang AS dan Jepang, banyak pengamat mulai khawatir dengan dampak yang ditimbulkan oleh gejolak keuangan global yang menghadirkan resesi berkepanjangan dan penurunan daya beli konsumen di seluruh dunia. Persoalannya, modernisasi dan reformasi ekonomi China selama 30 tahun terakhir ini dirancang untuk keperluan ekspor, melalui kebangkitan industri manufaktur yang menyediakan berbagai macam keperluan konsumen di Amerika Serikat maupun negara-negara Eropa mulai dari mesin cuci, televisi, lemari es, serta keperluan lain, seperti sepatu olahraga, bahan bangunan, dan kontainer. Membangun kekuatan konsumen dalam negeri dengan sendirinya memiliki dampak yang luas dan mendalam, termasuk atas legitimasi kekuasaan tunggal Partai Komunis China yang sudah tidak komunis lagi. Meningkatkan daya beli berarti juga membuka berbagai sumber informasi yang menjadi bagian penting menuju demokratisasi dalam pemikiran kebanyakan orang di dunia sekarang ini. Di sisi lain, menurunnya permintaan luar negeri yang menjadi penghambat ekspor China dan memburuknya daya beli konsumen, juga meresahkan di dalam negeri. Seperti umumnya orientasi negara-negara berkembang pada kampung, dalam konteks ”pulang kampung” pada perayaan besar, perayaan Tahun Baru Imlek 2009 akan menjadi fenomena baru ketika berbagai pabrik manufaktur gulung tikar karena tidak mampu lagi membayar upah buruhnya. Padahal, keberhasilan China dalam melaksanakan sosialisme ala China yang dijadikan fondasi pertumbuhan selama ini bisa bertahan lama karena sistem politik dan ekonomi yang dianutnya selama ini berpelukan erat pada pasar karena masifnya wiraswasta di tingkat desa dan wilayah pertanian. Tahun Baru Imlek 2009 yang akan jatuh pada tanggal 26 Januari mendatang, akan menjadi semacam barometer baru apa yang akan terjadi selanjutnya terhadap pembangunan ekonomi China yang mulai terlihat pelambatan yang signifikan mengharuskan penguasa Beijing mengeluarkan paket stimulus sebesar 600 miliar dollar AS (baca juga hal 35) dari cadangan devisanya yang sekarang tercatat terbesar di dunia, sekitar 2 triliun dollar AS. Di tengah Tahun Kerbau ini, begitu kebanyakan orang Tionghoa percaya, terdapat ancaman besar menghilangnya pasar serta investasi asing langsung karena depresi global yang sekarang melanda dunia. Akan tetapi, ini tidak berarti pesta Tahun Baru harus berhenti karena usai pesta ada peluang lain yang harus dikerjakan. ”Gongxi Facai”
serta bagian dari kehidupan yang tidak bisa dipisahkan karena latar belakang sejarah yang panjang maupun budaya yang tinggi melalui kerja keras dan ketekunannya.
Wednesday, January 21, 2009
Semangat Imlek
Labels:
cultural
1 Comments
1 comments:
- 1/21/2009 10:30 PM Wannan (Alum.1992, Fis.) said...
-
biasa lah namanya juga tradisi lah ...setahun sekali ...
Subscribe to:
Post Comments